Kretek sebagai Warisan Budaya

Kretek sebagai Warisan Budaya

Tumbuhan tembakau (Nicotianae tabacum L) ditanam untuk digunakan daunnya. Tembakau dapat mencapai ketinggian 180 sentimeter (6 kaki). Daunnya besar, melebar lalu  meruncing hingga dapat mencapai 30 sentimeter.  

Tumbuhan tembakau telah ada sejak jaman prasejarah. Pada tahun 2010, para ahli paleontologi dari Museum Meyer-Honninger Paleontology menemukan sebuah balok kecil fosil tembakau di  tepian sungai Maranon di timur laut  Peru. Fosil tersebut diperkirakan berumur 2,5 juta tahun.  Adapun spesies-spesies yang mempunyai nilai jual adalah Nicotianae Tabacum L dan Nicotianae Rustica. 

Nicotiana rustica L biasanya digunakan untuk membuat abstrak alkoloid sedangkan Nicotiana tabacum L  pada umumnya digunakan sebagai bahan baku pembuatan rokok.

Tembakau seperti yang kita kenal sekarang, diperkirakan telah dikenal dan digunakan oleh  penduduk asli Amerika 6000 tahun sebelum Masehi. Mereka menanam tembakau, mengeringkannya dan menggunakan pipa untuk tujuan pengobatan serta kegunaan upacara penyembuhan penyakit. 

Setelah menemukan benua Amerika 12 Oktober 1492, Christopher Columbus, membawa beberapa lembar daun tembakau ke Eropa. Tetapi kebanyakan orang Eropa tidak dapat ‘merasakan’ tembakau sampai pertengahan abad ke-16. Tembakau mulai terkenal setelah seorang penjelejah dan diplomat bernama France's Jean Nicot mempopulerkannya pada abad tersebut.  Dari namanyalah kata ‘nicotine’ (kandungan utama tembakau) diambil.

Tanaman tembakau di Indonesia diperkirakan dibawa oleh bangsa Portugal atau Spanyol pada abad ke-16. Namun diperkirakan tanaman tembakau juga tumbuh di beberapa daerah di Indonesia yang belum pernah disinggahi orang Portugis atau Spanyol. 

Kata ‘tembakau’ atau ‘mbako’ (Jawa) secara linguistik berasal dari kata "tabaco" (Spanyol). Kata itu   berasal dari bahasa Arawakan, khususnya, dalam bahasa Taino di Karibia yang mengacu pada gulungan daun-daun pada tumbuhan ini (Bartolome De La Casas, 1552). Kata ‘tembakau’ dapat pula berasal dari "tabago" (berbentuk ‘y’) yang berisi daun tembakau kering untuk dihisap.  Kata tersebut berasal dari bahasa Arab ‘tabbaq’.

Di Indonesia dikenal tembakau asli  dan tembakau introduksi, yaitu tembakau yang masuk ke Indonesia sekitar tahun 1900-an (misalnya jenis Virginia, Burley, dan Oriental).  

Keberhasilan penanaman tembakau di Indonesia sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim: curah hujan, kelembaban, penyinaran dan suhu. Yang paling penting dari semuanya adalah curah hujan. Tembakau   musim kemarau (VO/ Voor-Oogst)  memiliki daun yang  lebih tebal dari tembakau musim penghujan (NO/ Voor-Oogst). Tembakau musim kemarau/Voor-Oogst (VO)  biasanya untuk membuat rokok putih dan rokok kretek; sedangkan tembakau musim penghujan/Na-Oogst (NO) biasanya dipakai sebagai bahan dasar pembuatan cerutu. Suhu optimum bagi pertumbuhan tembakau adalah di antara 18 – 27 derajat Celcius. 

Cara menikmati tembakau bermacam-macam.  Bila telah dikeringkan, tembakau dapat dikunyah, digulung dan dihisap, atau dibuat pasta.  

 

KRETEK di INDONESIA

Konsumsi terbanyak daun tembakau adalah dengan cara dikeringkan, digulung, dibakar dan dihisap.  Cara tersebut disebut ‘merokok’.

Kebiasaan merokok tembakau  sudah dapat ditemukan di Jawa sejak abad ke-17. Pada umumnya untuk kepentingan sendiri dengan cara membungkus tembakau dengan  klobot (kulit jagung kering).   Namun berbeda dengan kebiasaan bangsa lain, di Indonesia tembakau terlebih dahulu dirajang, dikeringkan,  dicampur dengan cengkeh, dan digulung dengan kertas.  Itulah rokok  kretek.

Menyebut kretek, tidak bisa dilepaskan dari nama Haji Djamhari dari kota Kudus. Pada suatu hari akhir abad ke-19 (1870-1880), secara tidak sengaja, Haji Djamhari menambahkan cengkeh ke dalam lintingan tembakau miliknya. Ajaib! Setelah mengisap lintingan tembakau dan cengkeh itu, penyakit asma yang dideritanya berkurang. Dari sanalah, orang-orang mulai mengikuti jejaknya.

Sejak ‘penemuan’ Haji Djamhari itulah, kretek menjadi komoditas yang semakin meluas. Sebutan  rokok ‘kretek’ adalah karena hasil bunyi dari hisapan sebatang ‘rokok cengkeh’.

Setelah menjadi barang dagangan, kretek mulai diproduksi massal. Yang paling terkenal pada jamannya adalah Mas Nitisemito (1863-1953). Ia memulai bisnis kretek pada tahun 1906 dan mencapai kejayaan pada sekitar tahun 1930, lewat produk “Bal Tiga Nitisemito”. 

Di Jawa Timur, tahun 1909, kretek mulai berkembang di daerah Blitar dan sekitarnya. seperti Kediri dan Tulungagung sepanjang lembah sungai Brantas. Akhirnya pada tahun 1962,  Lie Koen Lie (Wisman Ali)  bersama Oei Bian Hok (Budiono Widjajadi), mendirikan pabrik kretek PT. Gelora Djaja di Surabaya yang memproduksi kretek dengan kualitas tinggi.